Ternyata, Bukan Cuma Dg Naba Tandem Pak Kiai di RRI

TERNYATA bukan Daeng Naba (almarhum, Syamsu Marlin BA) belaka yang menjadi tandem Pak Kiai selama 37 tahun membawakan acara siaran Sahur Ramadan, Dialog Pak Kiai di Radio Republik Indonesia (RRI)

KH Bakri Wahid atau yang dikenal dengan Pak Kiai, tercatat sebagi pembawa acara dialog sahur terlama di RRI.
Sejak RRI Makassar mulai aktif menyiarkan siaran dakwah di ajang MTQ I di Makassar, tahun 1970, Pak Kiai mulai dilibatkan.
"Sama Dg Naba itulah yang terlama, hampir seperempat abad," kata Muhammad Taufiq, pengelola Pesantren Ulumul Islam yang juga pendamping Pak Kiai enam tahun terakhir, kepada Tribun, kemarin.

Siaran bersama Syamsu Marlin BA (Dg Naba), terhenti rekannya seorang pegawai depag Sulsel, itu meninggal medio 1990-an. Kemudian dilanjutkan dengan Syamsuddin Dg Lagu, yang juga muridnya.

Di akhir dekade 1990-an, Pak Kiai siaran sahur bersama Dr Agung Wirawan atau yang akrban dengan Dg Bani. Lalu sempat digantikan penyiar RRI Sudarmin Dahlan Dg Nai, dan  terakhir sejak tahun 2005 hingga 2010 bersama penyiar senior RRI, Mustakim Tinulu atau Dg Tojeng

Sebagai siaran radio pemerintah dengan kekuatan pemancar 50 KW, di gelombang MW 476,19 meter Frekwensi  630 K Hz, siaran sahur Pak Kiai ini pendengarnya mulai Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Irian Jaya, Maluku, Sulawesi, bahkan hingga luar negeri.

Mustakim Tinulu (66) mengenang di masa jayanya siaran ini antara dekade 1980-1990-an."Surat para pendengar tersebut biasanya hingga 3 kardus, dan itu bukan hanya berasal dari Sulawesi Selatan, tapi juga dari Malaysia dan Philipina," ujarnya  Angkasawan RRI Makassar, Mustakim yang terakhir siaran dengan almarhum Ramadan 1432 Hijriyah, tahun 2010 lalu.
Di dekade itu, memang radio masih jadi alat komunikasi efektif untuk kawasan Indonesia timur. Saat itu, selain TVRI yang siaran TV swasta belum terlalu banyak.

Pola komunikasi antara pemirsa dengan Pak Kiai hanya lewat surat. Surat dikirim ke studio Jl Riburane No 3 Makassar, itu kadang baru dibacakan setelah diseleksi sepekan.

Di tahun 2000-an, selain surat tulis, mulai ada email dan telepon.  Materi dialog sahur yang dibawakan saat itu  termasuk moderat dan simpel. "Pak Kiai itu, selalu membawakan ajaran pemurnian Islam, kembali ke Quran dan hadist," kata Taufik.
Di tahun 2004, saat Tribun Timur, baru terbit di awal Ramadan, penulis sempat wawancara di kediamannya.

Dia termasuk ulama khas, yang hanya menjawab apa yang ditanyakan. Jawabannya selalu merujuk Alquran dan Hadis, jarang memberi komentar pribadi.   

Karena wawancara di petang hari, dia berbicara tidak dengan membuka mulut yang lebar. Walaupun bau mulut orang puasa itu bak minyak kasturi di Surga, tapi dia tahu cara meladeni tamu, dengan sopan dan di terima di ruang tengah.
Dia tenang dan kaidah bahasanya runtut dan khas Minang, yang runtut dan bersyair.

Khas Budaya Padang, amat kental di rumahnya.Almarhum termasuk, putra tokoh penyebar Islam di Sawaluntoh, Sumbar.Ayahnya adalah mendiang Abd Wahid Datuk Pengulu Batuah dan ibunya, St. Mushlihah Binti Teguh.

Dia sempat satu perguruan dengan mendiang Prof Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau (Buya Hamka) di Madrasah Thawalib, Padang Panjang, pasca-kemerdekaan. Melalui Partai Masyumi, dia dikirim ke Jeneponto, menjadi anggota DPRD Jentak (Jeneponto-Takalar), dan mengabdi sebagai pendidik di sana.

Meski kala itu, mendakwakan ajaran Wahabiyah yang dekat dengan organisasi Muhammadiyah dan berdakwah di daerah Islam Tradisional Ahlu Sunnah wal Jamaah, namun meteri dakwahnya dengan mudah diterima umat Islam Sulsel. (thamzil thahir)

22 Jul, 2013


-
Source: http://makassar.tribunnews.com/2013/07/22/ternyata-bukan-cuma-dg-naba-tandem-pak-kiai-di-rri
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com

0 komentar: