Sekolah Demokrasi: Rental Profesor Merusak Pemilihan Wali Kota

MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM - Sekolah Demokrasi Sulsel memberi tujuh catatan terhadap pelaksanaan pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar. Pesta demokrasi lima tahunan ini teindikasi kehilangan makna bagi 1,6 juta warga kota. Mereka yang berkompetisi dalam pesta ini dinilai mengalami krisis demokrasi. Pesta demokrasi ini pun dinilai tandus makna demokrasi.

Penggiat Sekolah Demokrasi, Abdul Karim menyebutkan ketujuh catatan yang menjadi penanda tandusnya makna demokrasi. Ketujuhnya adalah perang masalah privasi, visi dan misi tak orisinil, materi program jualan sudah usang, tak ada rancanangan tata kelola pemerintahan yang ideal, partai mengusung hanya untuk keperluan administratif, politisasi birokrasi, dan munculnya "kavlingan" kelompok masyarakat.

"Dari sisi kuantitas, pemilihan wali kota kali ini cukup ramai. Namun, memiriskan karena sepi pendidikan politik dari 10 pasangan calon," kata Karim, Rabu (24/7/2013). Ketujuh catatan tersebut merupakan cermin tak adanya adu program antarcalon.

Calon cenderung saling serang masalah privasi. Seharusnya sebagian tak perlu menjadi konsumsi publik.

Visi dan misi cenderung merupakan hasil plagiat. Ada indikasi "rental profesor" saat perumusan visi dan misi. "Profesor rental" itu juga pernah di-rental oleh calon pada pemilihan kepala daerah lain. Visi dan misi frame-nya akan sama sebab satu perumus.

Program jualan juga sudah usah, semisal pendidikan dan kesehatan gratis, dana bergulir, dan pelayanan publik. "Sebenarnya program itu merupakan program nasional namun dikemas secara lokal sehingga terkesan menipu," ujar Karim.
Tak ditemukan rancangan mekanisme pengelolaan pemerintahan secara demokratis dari para calon untuk masa mendatang pada lingkup Pemkot Makassar. Kata Karim, ini penting sebab pembumian visi dan misi politik menjadi program pembangunan kelak mesin intinya adalah pada birokrasi pemerintahan.

Sebagian calon berlatar belakang birokrat dan yang bukan birokrat tetapi memliki pola relasi dengan birokrasi pemerintahan mengakibatkan munculnya gejala politisasi birokrasi.

Lebih parah ketika calon melakukan "kavling" tokoh masyarakat. Dampaknya, kepemimpinan sosial di bawah pun mengalami fragmentasi negatif. "Ini tentu saja tidak kondisional dalam menumbuhkan pranata demokrasi berbasis modal sosial," ujar Karim.

Masalah tersebut apabila dibiarkan dinilai akan menghasilkan makna demokrasi yang lebih tandus pada masa mendatang. (*)

24 Jul, 2013


-
Source: http://makassar.tribunnews.com/2013/07/24/sekolah-demokrasi-rental-profesor-merusak-pemilihan-wali-kota
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com

0 komentar: