Berpuasa Sendiri di Negeri Orang

Tribun-Timur.com -- Benar pepatah yang mengatakan "hujan emas di negeri orang, lebih enak hujan batu di negeri sendiri" kalau dikaitkan dengan bulan Ramadhan. Menjalani ibadah puasa di kampung halaman jauh lebih nikmat dibandingkan bila berpuasa di negeri orang. Membayangkan ramainya salat tarawih bersama tetangga, riuhnya suara anak-anak membangunkan kita untuk sahur, lantunan pengajian dari pengeras suara masjid, selingan petasan yang kadang terdengar karena ulah anak-anak, dan puluhan jajanan yang menerbitkan air liur, menjadi kerinduan tak tertahankan. Sementara di kampung orang seperti di Johor Baru, tempat saya menuntut ilmu suasana agak berbeda. Kalau di rumah sahur bersama keluarga, di sini saya mesti bangun jam tiga pagi, menstarter mobil, dan di tengah kegelapan berkendara ke kantin asrama agar bisa menikmati makanan hangat. Bagi saya yang tidak familiar dengan hantu, rasanya agak bebas saat ramadhan mengingat sejak kecil sering mendengar orang tua berkata "setan-setan terikat saat ramadhan." Terbit keberanian untuk berkendara kemana saja di subuh hari, mencari sahur yang asyik. Tentu saja banyak juga nikmat berpuasa di sini yang dengan jelas menerapkan syariat Islam. Sangat jarang ada warung buka di tengah hari. Sulit melihat orang merokok atau mengunyah di keramaian. Waktu terasa begitu cepat berlalu dan azan pun berkumandang. Masjid kampus menyiapkan santapan berbuka yang melimpah ruah dan mahasiswa internasional dari berbagai negara menyatu di sana. Meski kadangkala diajak teman, tapi saya lebih memilih berbuka di tempat yang tidak ramai. Berpuasa di dalam dunia kampus, di negeri seberang, tentu memiliki nuansa berbeda. Rutinitas berjalan sebagaimana biasa dan sore hari merupakan ajang jalan-jalan melihat berbagai penganan buka puasa. Telepon akan berdering lebih sibuk dari sebelumnya. Suara ibu atau orang-orang terdekat akan menanyakan hal yang sama. "Buka puasa pakai apa?" Sahabat akrab saya, seorang gadis Pakistan yang cantik dan gemar memasak setiap saat menyajikan menu khas kesukaannya. Saat berbuka, aneka makanan yang kadang belum pernah saya lihat sebelumnya tersedia di atas meja. Nasi berempah khusus bercampur ayam dan kentang serta disiram yoghurt dan lada hitam. Ada roti naan dengan kari daging plus penganan mirip sandwich berisi segala macam. Saya tidak mengetahui nama-nama makanan tersebut karena meski ia menyebutnya beberapa kali, tetap saja lidah sulit melafalkannya dengan lancar. Semua itu malah mengembalikan ingatan saya pada penganan berbuka di negeri sendiri. Es buah segar atau pallu butung -makanan khas Makassar- berupa kolak pisang berkuah putih dan disirami sirop merah.

20 Jul, 2013


-
Source: http://makassar.tribunnews.com/2013/07/20/berpuasa-sendiri-di-negeri-orang
--
Manage subscription | Powered by rssforward.com

0 komentar: